Benigno Nainggolan, Surip Stanislaus
Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Santo Thomas, Medan
Email: nainggolanbenigno@gmail.com; suripofmcap66@gmail.com
Abstrak
Artikel ini membahas tentang antroposentrisme sebagai akar dari problematika ekologis. Antroposentrisme melahirkan praktik eksploitasi berlebihan. Terhadap akar masalah ini, penulis mengajukan suatu semangat atau spiritualitas persaudaraan ekologis yang terdapat dalam Kidung Saudara Matahari. Kidung ini adalah gubahan dari Fransiskus Assisi, sosok teladan dalam menampilkan semangat persaudaraan universal. Semangat tersebut mengungkapkan hubungan mendalam antara manusia, alam semesta dan Allah. Semangat ini selaras dengan gagasan ekologi/ekosentrisme sekaligus melampauinya;melampaui ekosentrisme yang berada pada tataran filosofis. Sementara semangat persaudaraan universal mengandung visi antropologi yang bernuansa spiritual-teologis yang mendalam. Pengentasan masalah ekologis tidak cukup hanya dengan mengusahakan upaya-upaya teknis. Dibutuhkan solusi yang lebih mengakar yakni perihal paradigma. Paradigma Menuju persaudaraan ekologis-universal yang diawali dengan pertobatan ekologis dan transformasi spiritual.
Kata Kunci: Fransiskus Assisi, Ekologi, Persaudaraan Universal, Antroposentrisme, Kidung Saudara Matahari
PENDAHULUAN
Dari tahun ke tahun, tren dan urgensi untuk memberi perhatian terhadap lingkungan hidup semakin meningkat. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Fakta menunjukkan bahwa dunia sedang berhadapan dengan masalah kerusakan alam yang serius. Masyarakat dunia sedang menghadapi apa yang disebut dengan krisis ekologi atau krisis lingkungan hidup. Hal itu ditandai dengan meningkatnya pencemaran air, pencemaran udara, menurunnya keanekaragaman hayati, pemanasan global dan lain sebagainya. Itu semua memberikan dampak negatif yang besar kepada manusia. Dengan kata lain, krisis lingkungan hidup berimplikasi pada krisis antropologis.
Tidak dapat disangkal bahwa duduk perkaranya terletak pada manusia itu sendiri tanpa memungkiri bahwa penyebab kerusakan bisa juga terjadi oleh karena perubahan alamiah. Praktik eksploitatif dari manusia terhadap alam ciptaan tanpa suatu kalkulasi dan pertimbangan yang prudensial adalah alasan utamanya. Masalah ini pun tidak bisa dilihat hanya sebagai masalah teknis belaka tetapi harus juga dipandang sebagai suatu krisis spiritual dan etis yang juga menyangkut cara pandang manusia terhadap alam. Bahwasanya alam telah dilihat semata-mata sebagai objek eksploitasi semata dan manusia memandang diri sebagai penguasa atasnya. Cara pandang ini dikenal dengan istilah antroposentrisme
Tarekat Religius[1] Fransiskan secara umum dan Ordo Kapusin secara khusus[2] merupakan sebuah institusi yang turut ambil bagian dalam memperhatikan lingkungan hidup. Hal itu didasari oleh semangat pendiri mereka—Santo Fransiskus Assisi—yang terkenal sebagai pelindung lingkungan hidup. Tahun ini tarekat tersebut memperingati 800 tahun “Kidung Saudara Matahari” yang digubah oleh Fransiskus. Gita atau kidung ini memuat suatu pesan spiritual berkenaan dengan alam ciptaan. Kidung itu boleh disebut sebagai kidung ekologis lantaran menyebut makhluk-makhluk infrahuman sebagai saudara. Semangat ini sangat bertentangan dengan paham antroposentrisme modern.
Tulisan ini berupaya untuk mengeksplorasi semangat persaudaraan yang ada dalam diri Fransiskus yang disimbolkan dengan Kidung/Gita Sang Surya dan menawarkannya sebagai suatu pesan moral-spiritual ekologis di era krisis ekologi dewasa ini.
ISI
Ekologi dan Antroposentrisme
Istilah ‘ekologi’ berasal dari dua kata Yunani yakni oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal dan logos yang berarti ilmu. Maka secara harfiah, ekologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berbicara dan menyelidiki tentang rumah atau tempat tinggal. Tempat tinggal atau rumah dalam hal ini merujuk pada keseluruhan semesta dengan segala isinya baik yang ada di planet bumi maupun yang ada di luarnya atau yang ada di ruang angkasa. Ekologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang keterhubungan dan keseimbangan antar organisme yang hidup dengan lingkungannya. Ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup.[3]
Ekologi melihat bumi sebagai sebuah rumah atau komunitas yang mencakup individu-individu atau unsur-unsur hidup yang saling tergantung. Ekologi mencakup apa yang disebut dengan autekologi dan sinekologi. Hal pertama menyelidiki dan mempertimbangkan organisme secara individu:melihat keunikan masing-masing spesies yang terdapat dalam keseluruhan lingkungan. Sementara yang satunya yakni sinekologi, menyoroti latar/setting atau lingkungan tempat spesies hidup. Contohnya: Sinekologi akan mempelajari individu manusia, hewan, tumbuhan secara tersendiri sementara autekologi akan mempelajari tempat setiap individu spesies itu berada yang sekaligus juga menyinggung spesies organisme hidup lain. Maka memang, ekologi merupakan suatu ilmu atau paradigma yang menyeluruh dalam memandang alam semesta.[4]
Dalam perkembangan terminologi, istilah ekologi juga disinonimkan dengan istilah ekosentrisme. Ekosentrisme adalah suatu paham atau cara pandang yang menempatkan manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang besar. Kata “isme” yang berarti ideologi atau paham, merujuk pada bagaimana manusia berpandangan dan bersikap terhadap alam atau ciptaan lain. Menjadi manusia atau pribadi yang menganut ekosentrisme berarti menjadi pribadi yang mengakui keberadaan setiap makhluk hidup dan nilai intrinsiknya masing-masing. Penganut ekosentrisme juga merupakan mereka yang meneropong alam semesta secara menyeluruh. Maka ekologi atau ekosentrisme adalah paham holistik, komprehensif dalam berpandangan luas terhadap alam semesta.[5]
Sebagai antitesis, paham antroposentrisme (Human-centered Ethic)[6] lahir dan berkembang sebagai paham yang berpandangan sempit terhadap lingkungan hidup. Antroposentrisme adalah suatu paham yang mendudukkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Manusia dijadikan titik tumpu perhatian dalam pembahasan tentang lingkungan hidup. Sehingga dalam praktiknya, pengeksploitasian dan perusakan alam bisa ditolerir atau bahkan mendapat legitimasi umum asalkan itu fungsional dan memberi nilai pragmatis terhadap kehidupan dan kesejahteraan manusia.[7]
Masalah lingkungan hidup atau krisis ekologi dewasa ini berakar dari kuatnya antroposentrisme. Lyn White Jr dalam “The Historical Roots of Our Ecological Crisis (1967), menyatakan bahwa antroposentrisme membuat manusia merasa tuan dan penguasa atas alam alih-alih merasa diri sebagai bagian dari alam sebagaimana yang dirumuskan paham ekologi/ekosentrisme. Eksploitasi berlebihan terjadi mulai dari praktik deforestasi, industrialisasi tanpa kontrol dan polusi di berbagai segi kehidupan.[8]
Fransiskus dari Assisi
Fransiskus Assisi adalah salah seorang tokoh spiritual-karismatis dalam Gereja Katolik yang hidup pada tahun 1880/1881 hingga 1226. Ia disebut karismatis karena ia mempelopori bentuk hidup baru pada zamannya yang kontras dengan situasi atau konteks zamannya yang sangat materialistik dan sekularistik;ditandai dengan kecenderungan masyarakat untuk memperkaya diri secara material, gejolak perang karena hegemoni, dan ketimpangan sosial yang dalam. Fransiskus di sisi lain menunjukkan cara hidup yang lebih spiritual dengan memilih untuk hidup seturut Injil: miskin, taat dan murni.[9]
Fransiskus pada mulanya adalah bagian dari zamannya dan eksis seperti orang pada zamannya. Namun kemudian suatu pengalaman personal dan eksistensial mengubah hidupnya secara radikal. Sekitar tahun 1205, ia mengalami perjumpaan dengan Kristus Yang Tersalib. Ia terinspirasi oleh kenyataan teologis bahwasanya Allah yang Maha Tinggi ternyata mau bersolider atau bersaudara dengan manusia dalam diri Yesus. Ia juga sampai pada penghayatan kenosis bahwa Kristus itu juga mau menjadi dina (minor) bahkan mati disalibkan demi penebusan manusia. Penghayatan inilah yang mentransformasikan diri dan paradigma Fransiskus.[10]
Sejak pertobatannya dari cara hidup yang duniawi dan sekularistik, Fransiskus mengalami perkembangan hidup rohani yang signifikan. Cara hidupnya menarik perhatian dan mengubah banyak orang. Ia dikenal sangat bersaudara dan sangat solider terhadap semua orang. Dia menaruh kepedulian yang besar terhadap kaum marginal yang mencakup orang miskin, orang kusta dan kaum-kaum yang dipandang rendahan pada masanya. Ia membentuk ordo dan menamainya Ordo Saudara Dina (Ordo Fratres Minores).[11]
Dia merupakan orang pertama yang memperoleh stigmata yakni materai atau tanda luka-luka Kristus yang Tersalib. Dalam pandangan Gereja Katolik, seseorang yang mendapat stigmata, diakui sebagai pribadi yang mempunyai hubungan yang mendalam dan intim dengan Tuhan. Ia diyakini memiliki kualitas hidup rohani dan moral yang sangat baik. Maka tidak salah bahwa Gereja mengangkatnya menjadi seorang santo pada tahun 1228, dua tahun setelah wafatnya.[12]
Gereja dan dunia menganugerahi sejumlah atribut kemuliaan terhadap Fransiskus Assisi karena dia mewariskan banyak teladan hidup. Dia dikenal sebagai pelindung orang-orang kecil. Kemudian Fransiskus disebut sebagai pejuang perdamaian karena pada hidupnya ia berupaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih. Fransiskus berkontribusi dalam meredakan ketegangan perang salib yang berkecamuk pada zamannya. Tidak lupa juga bahwa Fransiskus dinobatkan sebagai santo pelindung lingkungan hidup karena memperlakukan semua makhluk ciptaan sebagai saudara dan saudari. Pengangkatan itu terjadi pada 29 November 1979 oleh Paus Yohanes Paulus II.[13]
Semangat dan Persaudaraan Ekologis: Kidung Saudara Matahari
Salah satu semangat hidup atau karisma yang diwariskan Fransiskus bagi Gereja dan dunia adalah tentang semangat persaudaraan universal. Fransiskus memang dikenal sebagai sosok yang bersaudara dengan semua orang. Hal itu sejalan dengan nama yang ia kenakan terhadap ordonya, “Ordo Saudara Dina,” ordo yang menghidupi nilai persaudaraan dan ‘kedinaan’/kerendahan hati. Namun, Fransiskus tidak membatasi cakupan persaudaranya hanya pada tataran manusiawi. Ia juga memperluas cakupannya terhadap ciptaan yang bukan manusia/infrahuman. Ia mengakui dan menghargai keberadaan dari setiap hal yang terdapat di alam semesta ini sekalipun itu adalah benda mati. Ia memandang masing-masing unsur dalam alam semesta ini sebagai suatu rahmat dan menyapanya sebagai saudara dan saudari.[14]
Kidung Saudara Matahari[15] atau sering disebut Gita Sang Surya merupakan mahakarya Fransiskus yang digubah pada tahun sekitar 1225-1226. Hal yang mendorong Fransiskus mengarang kidung itu adalah adanya kesadarannya akan betapa banyak orang justru melukai Sang Pencipta dengan menyalahgunakan dunia ciptaan yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia. Fransiskus menyaksikan bagaimana orang di sekitarnya telah melukai Pencipta dengan berlaku sewenang-wenang dengan ciptaan. Selain itu, faktor lain yang mendorong Fransiskus untuk menggubah syair itu adalah pengalaman spiritual intim yang ia peroleh dalam peristiwa stigmata sebelumnya. Pengalaman itu semakin memperteguh imannya akan kehadiran Allah dalam semua ciptaan
Secara simbolik kidung tersebut mau menyatakan suatu seruan ekologis. Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi sifat dan esensi dari istilah “ekologi” itu terkandung dalam kidung tersebut. Bersifat ekologis karena di dalamnya dilukiskan suatu pengakuan dan apresiasi akan keberadaan ciptaan lain di luar manusia. Dapat dilihat bahwa matahari, bulan, bintang, air, angin, api dan bumi disebutkan dalam kidung tersebut sebagai yang mewakili ciptaan dan unsur-unsur alam yang lain. Selain pengakuan, kidung itu juga merepresentasikan suatu kesadaran bahwa manusia bukan satu-satunya di alam semesta ini melainkan salah satu dari sekian banyak entitas dengan segala wujud dan nilai intrinsik masing-masing. Suatu kesadaran yang bisa dikatakan bersifat ekologis.[16]
Namun demikian, kembali ditegaskan bahwa Fransiskus melampaui status berpandangan ekologis tersebut. lebih jauh Fransiskus menyapa alam ciptaan sebagai saudara/saudari. Fransiskus dengan sangat eksplisit menggunakan sapaan itu dalam kidungnya. Sapaan yang mengekspresikan perasaan yang mendalam akan ciptaan;melampaui kesadaran manusiawi yang wajar. Baginya ciptaan yang lebih rendah adalah sungguh-sungguh ciptaan, manifestasi kemahakuasaan Allah, perantara yang memungkinkan manusia mengenal dan mencintai Allah[17]
Penghayatan Fransiskus tidak bertentangan dengan keyakinan teologi Gereja akan ciptaan. Ide Persaudaraan Universal dalam Gita Sang Surya mengimplisitkan keyakinan teologis bahwa Allah mencipta dan senantiasa merangkul semua ciptaan-Nya. Semua berada dalam rahim Allah yang Mahabesar. Kehadiran-Nya menjadi semakin paripurna dalam diri Yesus Kristus melalui inkarnasi—Allah menjadi manusia. Inkarnasi Allah menjadi manusia menyatakan bagaimana Allah sangat mencintai dunia sehingga Ia pun dalam kerelaan-Nya berdiam menjadi manusia dan tinggal dalam dunia. Penebusan pun bukan semata-mata terjadi untuk manusia tetapi tertuju juga kepada ciptaan lain sehingga makhluk-makhluk dunia tidak tampil hanya sebagai realitas alamiah tetapi menjadi realitas kudus karena diciptakan dan ditebus secara ilahi[18]
Teilhard de Chardin seorang filsuf dan teolog, menyatakan bahwa dunia dan alam semesta ini berahmat karena Allah hadir di dalamnya. Allah ada dalam semua unsur alam. Inilah yang disebut dengan ide ‘panenteisme’[19] yakni suatu paham yang menyatakan bahwa dalam setiap alam ciptaan, Allah hadir. Dengan demikian, pada hakikatnya dunia dan segala isinya adalah baik dan kudus karena berasal dari Allah dan tertuju kepada Allah. Teilhard memberikan pemahaman konsepsional akan panenteisme yang sudah lebih awal dihayati oleh Fransiskus Assisi
Gita Sang Surya juga menyatakan suatu dimensi sakramentologis dan liturgis dari unsur-unsur alam. Dalam suatu perayaan sakramen ditemukan dua komponen penting yakni materi dan forma. Materi merupakan komponen berupa bahan-bahan alam yang digunakan sebagai sarana dalam penyaluran rahmat adikodrati bagi manusia. Dalam perayaan liturgis Gereja Katolik, materi alam turut serta dalam pengudusan manusia dan pemuliaan Allah.[20]
Gita Sang Surya menggabungkan ide Penciptaan dalam kekristenan. Penciptaan manusia dari tanah menyatakan bahwa manusia hidup dalam satu bumi bersama ciptaan lain dan dengan Pencipta. Manusia hidup bersama dengan ciptaan lain dan tergantung sama lain dan tergantung juga terhadap tanah/bumi tempat tinggalnya. Manusia juga mengalami ketergantungannya pada Allah Pencipta Bumi dan segala isinya. Pujian kepada Allah bersama semua makhluk dalam Gita Sang Surya menggemakan relasi hakiki antara Allah, manusia, dan ciptaan lain: suatu relasi dan ikatan yang universal. Oleh sebab itu, manusia bukan “tuhan” atas ciptaan lain melainkan “saudara” atas ciptaan lain di dalam Allah Maharahim. Manusia harus bersikap rendah hati sehingga bumi menjadi tempat yang menggelarkan situasi harmonis dan indah dan menghadirkan situasi ekologis sekaligus bersaudara.[21]
Menuju Semangat Persaudaraan Universal
Paus Fransiskus dalam Laudato Si menyatakan bahwa akar masalah ekologis dewasa ini terletak dalam diri manusia. Ia menyebutnya sebagai “akar manusiawi krisis ekologis.” Akar yang dimaksud terkait dengan paradigma manusia modern yang menjunjung tinggi paham antroposentris yang memiliki cara pandang keliru terhadap realitas dunia. Hal itu terkait juga dengan globalisasi paradigma teknokratis yang hanya memperhitungkan nilai fungsional dan pragmatis bagi manusia tanpa suatu analisis terhadap dampak lingkungan.[22]
Dengan melihat bahwa akar utamanya terdapat dalam diri manusia, maka suatu solusi yang dibutuhkan juga harus berakar pada transformasi sikap dan mentalitas manusiawi. Tidak cukup bahwa manusia melakukan upaya pengentasan yang sifatnya teknik dan sementara. Dibutuhkan suatu penyadaran yang dapat meredam hasrat manusia yang hanya ingin mendominasi dan memanipulasi alam demi keperluan pragmatis semata. Suatu transformasi paradigma mendesak dibutuhkan demi memulihkan krisis ekologis yang berimplikasi dengan krisis manusiawi.
Sosok Fransiskus dan Kidung Saudara Mataharinya memberi suatu paradigma baru bagi manusia zaman modern ini dalam menjalin hubungan dengan dunia. Ada seruan dan panggilan menuju persaudaraan universal yang ditawarkan. “Menuju persaudaraan universal” barangkali terasa sebagai semacam utopia dan romantisme belaka. Kontemplasi Fransiskus terhadap alam dirasa hanya sebagai khayalan dan idealism yang sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk diwujudnyatakan. Namun, kontemplasi dan penghayatan itu punya dasar yang kokoh secara alkitabiah dan mengandung seruan etik-moral. Bahwa pada hakikatnya, manusia dipanggil untuk bersaudara dengan semua ciptaan dengan catatan bahwa manusia tetap menjaga status ontologisnya sebagai makhluk yang berasio dan punya kedudukan lebih tinggi dibanding ciptaan lain. Suatu kenyataan paradoksal-manusiawi yang mesti dijaga. Fransiskus menghayati kenyataan itu dan juga menghidupinya dengan hidup dalam kesederhanaan.
Paus Fransiskus dalam hal ini menawarkan suatu paradigma persaudaraan universal yang dimulai dengan pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis menjadi langkah awal sebelum menuju sikap bersaudara secara universal. Pertobatan yang dimaksud adalah suatu perubahan sikap dari yang apatis menjadi penuh perhatian, dari yang terlalu teknis, jasmaniah, dan sekuler menjadi lebih spiritual. Hal ini bersesuaian juga dengan ide ekologi integral yang Paus tawarkan dalam ensikliknya: suatu ekologi yang memperhitungkan semua aspek dalam kerangka holistic yang mencakup dimensi manusiawi dan sosial maupun lingkungan.[23]
Dari pertobatan ekologis, perlahan manusia dihantar kepada pengenalan diri secara lebih mendalam: mengenal siapa diri di hadapan diri sendiri, di hadapan sesama, di hadapan alam semesta, dan di hadapan Allah sendiri. Pengenalan yang lebih mendalam dan bermakna akan diri pada gilirannya menentukan sikap manusia terhadap alam semesta. Pengenalan yang sesuai dengan makna teologis-alkitabiah dan moral Katolik membawa manusia pada sikap relasional yang harmonis dengan alam ciptaan. Pada akhirnya manusia sadar, bahwa hakikatnya adalah bersaudara dengan semua elemen hidup dalam alam semesta ini. Akhirnya anropologi yang sesungguhnya bukan lagi antropologi antroposentris yang menjadi akar masalah kerusakan alam semesta melainkan antropologi-teologi yang sifatnya integral dan visinya holistik serta menyeluruh. Antropologi yang melahirkan rasa empati.[24]
Adalah tidak cukup hanya sekadar ber-ekologi dan ber-ekosentrisme yang sifatnya sangat filosofis dan kering. Visi persaudaraan universal-semesta yang dihayati Fransiskus Assisi mengandung suatu esensi teologis yang memperteguh manusia sebagai manusia yang berbeda dari ciptaan lain tetapi serentak juga menetapkan status manusia yang memiliki jaringan relasional dengan ciptaan lain.
Akhirnya, harus tetap ditekankan bahwa manusia bukanlah entitas yang bisa disamakan saja dengan entitas infrahuman lainnya. Menjadi bersaudara dengan alam ciptaan bukan berarti menyamaratakan semua makhluk hidup atau mencabut dari diri manusia nilainya yang unik. Hal itu juga bukan berarti bahwa manusia harus mengkultuskan bumi. Konsepsi-konsepsi yang keliru demikian justru akan menciptakan berbagai bentuk ekstremitas atau ketidakseimbangan lain. Semangat atau spiritualitas persaudaraan universal yang benar adalah semangat yang menyadarkan manusia bahwa hidup tidak melulu berkutat dalam satu dimensi tetapi hidup adalah multidimensi. Terlebih bahwa manusia zaman sekarang harus memelihara kembali aspek spiritualnya yang sering diabaikan. Aspek spiritual adalah aspek yang menjadikan hidup menjadi bermakna.
PENUTUP
Krisis lingkungan hidup yang melanda dunia universal memiliki kaitan yang erat dengan krisis manusiawi. Akarnya terdapat pada paradigma antroposentris. Spiritualitas Persaudaraan Universal yang ditawarkan Fransiskus meletakkan manusia sebagai bagian dalam jaringan komplek kehidupan. Kidung Saudara Matahari mengandung seruan ekologis yang memandang seluruh ciptaan sebagai saudara dan saudari. Kidung ini mengajak manusia untuk bertransformasi secara ekologis. Namun arah transformasinya bukan sekasar ekosentrisme filosofis maupun ekosentrisme mistik tetapi suatu ekosentrisme yang bercorak antropologi-teologis. Ini adalah paradigma spiritual yang memadai, mendalam dan seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Ginting, Fictorium Natanael. Santo Fransiskus Assisi Inspirator. Bogor: Yayasan Karya Cipta, 2023.
Iriarte, Lazaro. Panggilan Fransiskan Jilid 1 (judul asli: Vocation Fransiscana) diterjemahkan oleh Marinus Telambanua. Medan: Bina Media Perintis, 2002.
—. Panggilan Fransiskan Jilid 2 (judul asli: Vocation Franciscana), diterjemahkan oleh Marinus Telambanua. Medan: Bina Media Perintis, 2002.
Ladjar, L.L. Fransiskus Assisi, Karya-karyanya. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Marion A Habig (ed). English Omnibus of Sources for the Life of St. Francis. Chicago: Franciscan Herald Press, 1973.
Marpaung, Manangar C. Spiritualitas Dasar Fransiskan. Medan: Bina Media Perintis, 2018.
Nadeak, Largus. Topik-topik Teologi Moral Fundamental. Medan: Bina Media Perintis, 2015.
Ordo Saudara Dina Kapusin. Konstitusi Saudara Dina Kapusin. Roma: Curia Generale, 2013.
Paus Fransiskus. Laudato Si (Tepujilah Engkau) (Seri Dokumen Gerejawi No. 98), diterjemahkan oleh Martin Harun. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2016.
White, Lynn. "The Historical Roots of Ecological Crisis." Science, 1967: 1205.
[1] Tarekat religius merujuk pada semua institusi religius katolik yang memilih cara hidup seturut Injik;hidup dalam kaul kemiskinan, ketaatan dan tanpa milik dengan variasi semangat/spiritualitas masing-masing.
[2] Ordo Saudara Dina Kapusin/Ordo Fratrum Minorum Capucinorum adalah salah satu ordo/tarekat hidup religius katolik yang bersemangatkan semangat Fransiskan dengan spesifikasi pada karisma persaudaraan dan kedinaan (kerendahan hati). Dua karisma itu menjadi dua nilai dan jalan hidup yang dihidupi da diperjuangkan oleh mereka yang menggabungkan diri dalam tarekat tersebut. [Lih. Ordo Saudara Dina Kapusin, Konstitusi Saudara Dina Kapusin (Roma: Curia Generalis, 2013), hlm. 44-45]
[3] William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 13-14.
[4] William Chang, Moral…, hlm. 15-16.
[5] Largus Nadeak, Topik-topik Teologi Moral Fundamental (Medan: Bina Media Perintis, 2015), hlm.30-31.
[6] Paradigma ini berkembang sejak Era Pencerahan di Eropa (Abad 18). Paradigma ini memandang alam secara mekanistis dan tidak bernilai spiritual lagi. Cara pandang ini dipengaruhi perubahan pemikiran atau filsafat yang mengagung-agungkan rasio manusia dan berkembangnya aliran positivisme yang melihat realitas sebagai objek observatif belaka. [Lih. https://lsfdiscourse.org/menggugat-antroposent].
[7] William Chang, Moral…, hlm. 42.
[8] Lynn White, Jr., “The Historical Roots of Ecological Crisis,” dalam Science 155, no 3767 (1967), hlm.1205.
[9] Lazaro Iriarte, Panggilan Fransiskan Jilid 1 (judul asli: Vocation Franciscana), diterjemahkan oleh Marinus Telaumbanua (Medan: Bina Media Perintis, 2002), hlm. 3-5.
[10] Lazaro Iriarte, Panggilan…, hlm.16-17;Bdk. Manangar C. Marpaung, Spiritualitas Dasar Fransiskan (Medan: Bina Media Perintis, 2018), hlm. 274.
[11] Lazaro Iriarte, Panggilan…, hlm. 18-20; Bdk. Manangar C. Marpaung, Spiritualitas…, hlm. 284.
[12] Manangar C. Marpaung, Spiritualitas…, hlm. 58-59
[13] L.L. Ladjar (penerj), Fransiskus Assisi, Karya-karyanya (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 15-16.
[14] Lazaro Iriarte, Panggilan Fransiskan jilid 2 (judul asli: Vocation Franciscana), diterjemahkan oleh Marinus Telaumbanua (Medan: Bina Media Perintis, 2002), hlm. 56-57.
[15] Perlu diketahui bahwa isi dari Kidung Saudara Matahari terdiri dari tiga bagian yang dikarang pada waktu dan konteks yang berbeda. Bagian pertama, yang disebut sebagai bagian ekologis karena di dalamnya disinggung unsur-unsur alam yakni, matahari, bulan api, angin,air dan bumi, dikarang sekitar awal tahun 1205, setelah Fransiskus mendapatkan stigmata. Bagian kedua yang ditambahkan kemudian hari, berisi pujian Fransiskus kepada Allah karena mereka yang mengampuni dan yang membawa damai;ditulis tatkala Fransiskus berupaya mendamaikan antara pemimpin agama dengan pemimpin masyarakat. Sedangkan bagian ketiga ditambahkan menjelang Fransiskus meninggal. Di sana Fransiskus pun menyapa kematian/maut sebagai saudari. Jadi pada bagian pertamalah tampak secara kentara penghayatan “ekologis” Fransiskus. [Lih. Marion A. Habig (ed.), English Omnibus of the sources for the life of St. Francis (Chicago: Franciscan Herald Press, 1973), hlm. 128-131].
[16] Marion A. Habig (ed.), English…, hlm. 130. (Fransiskus 2016) (Ginting 2023)
[17] Lazaro Iriarte, Panggilan…, hlm. 52-53.
[18] Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si (Terpujilah Engkau) (Seri Dokumen Gerejawi No. 98), diterjemahkan oleh Martin Harun (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2016), no. 99-100. Selanjutnya akan disingkat dengan LS.
[19] Panenteisme mesti dibedakan dari panteisme. Panteisme di satu sisi sangat ditolak oleh Gereja karena sangat bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik karena idenya yang memang sudah seperti “menuhankan” segala ciptaan. Di sisi lain, panenteisme tidak sungguh-sungguh diterima dan dijadikan oleh Gereja sebagai suatu ide teologis resmi karena rentan terhadap suatu pengidentifikasian antara substansi dunia dengan Allah yang mana keduanya sungguh-sungguh berbeda. Namun demikian, ide panenteisme mendapat penerimaan dan titik temu dengan ajaran Gereja berkaitan dengan ide Transendensi dan Imanensi Allah: “Allah yang Mahabesar dan berbeda dari dunia hadir di mana-mana dan segala sesuatu ada karena ditopang oleh Allah. Tetapi Allah tidak dapat direduksi pada dunia.” Panenteisme diartikan secara teknis sebagai “yang dikandung mengandung yang mengandung.” Pencipta yang mengandung yang dicipta, mengandung Sang Pencipta.[Lih. Largus Nadeak, Topik…, hlm. 29-30.]
[20] LS, no. 235.
[21] Largus Nadeak, Topik…, hlm. 28-29.
[22] LS, no. 106-115.
[23] LS, no. 216.
[24] Fictorium Natanael Ginting, Santo Fransiskus Assisi Inspirator (Bogor: Yayasan Karya Cipta Asa, 2023), hlm. 75-77.
